Wednesday, June 29, 2005

SOUND OF MUDIK

Fajar menyingsing di langit Jogja ketika aku masih terlelap dalam genggaman sang malam di atas kereta senja utama. Tidak banyak yang aku lihat pagi ini, hanya sekali dan itu sangat jelas, gambar salah seorang anggota AB3 melintas beberapa detik di batas bawah sadarku memakai daster putih bergelombang-gelombang kecil.

Akhirnya keretaku memasuki kota Klaten, kota kelahiranku, kota seribu kenangan, kulihat kiri kanan masih sawah menghijau dan kebun yang menanam pohon nostalgi seolah bertutur kata tentang pergulatan nasib para petani. Kebun berjuntai mimpi yang kuandaikan sebagai perjalanan jiwa kanak-anakku hingga dewasa kini. Bangunan-bangunan kecil detak jam dinding kota yang menuliskan biografi catatan percintaan kaum remajanya.


Kerinduan menjelma sebagai sebuah angan saat kubuka pintu kamar ponakanku dan hanya boneka kecil mainan sejak jabang bayinya yang ke dapati. Bagi seorang bocah kecil Prabu Yasya nama indahnya. Bocah kecil yang besar jiwanya yang selalu ingin mendamaikan ibu dengan lingkungannya, swara kemanjaannya yang tiba-tiba bisa meluluhkan hatiku, di dapat dari mana loghat bahasa itu ? Pantas nian tak lepas dari pelukan dan tatapan matahati ibundanya, seolah seluruh rasa duka di alihkan kepadanya. Sementara itu Bapaknya mencari nafkah di ibukota, entah sekarang dimana. Tak mengurangi harga diriku jika aku minta maaf dan menyanjung jiwanya.

Dia yang sanggup menggembirakanku. walau hanya menirukan bisikan hatiku. Membawaku ke dalam lembah kerinduan, mengalahkan sunyinya kota kecilku dan bunyi gemersik dedaunan kering dalam tarian imajinasi menuliskan kata-kata airmata matahari.

Klaten, 28 Juni 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home